Kamis, 09 Desember 2010

Ketegaran Cinta Bertakbir


Seorang sahabatku, Mimi namanya, kami bersahabat puluhan tahun sejak kami sama-sama duduk di sekolah dasar (SD). Mimi gadis sederhana, anak tunggal seorang juragan sapi perah di wilayah kami, memiliki mata sebening kaca, dan lesung pipit yang manis menawan siapa saja dan akan runtuh hatinya jika memandang senyumnya. Termasuk saya.

Dan nilai tambahnya adalah dia seorang yang sangat soleha, yang patuh pada kedua orang tuanya. Tetapi Ranu, ’’don juan’’ yang satu ini juga sangat menyukai Mimi. Track record-nya yang begitu glamor dan mentereng tidak meragukan untuk merebut hati Mimi.
Sedangkan saya, hanya bisa menatap cinta dari balik senyuman tipis ketegaran. Karena saya tidak mau persahabatan kami hancur.
Lambat laun, Mereka pun pacaran dari mulai kelas 1 SMP hingga menikah. Sebagai tetangga sekaligus sahabat yang baik, saya hanya bisa mendukung dan ikut bahagia dengan keadaan tersebut (walaupun hati ini sedikit teriris). Apalagi Mimi dan Ranu saling mendukung. Hingga tiba ketika selesai kuliah, mereka berdua ingin mewujudkan cita-cita bersama, membina keluarga, yang sakinah, mawaddah, dan warohmah.

Namun, namanya hidup pasti ada saja kendalanya, di balik kesejukan melihat hubungan mereka yang adem ayem, orang tua Ranu yang salah satu pejabat di daerah itu, menginginkan Ranu menikahi orang lain pilihan kedua orang tuanya. Namun Ranu rupanya cinta mati dengan Mimi, sehingga mereka memutuskan untuk menikah, sekalipun di luar persetujuan orang tua Ranu. Dan secara otomatis, Ranu diharuskan menyingkir dari percaturan hak waris kedua orang tuanya, disertai sumpah serapah dan segala macam cacian.
Ranu akhirnya melangkah bersama Mimi. Setelah menikah, mereka pergi menjauh keluar dari kota kami, Dumai, menuju Pekanbaru, dengan menjual seluruh harta peninggalan kedua orang tua Mimi yang sudah meninggal.
Masih tajam dalam ingatan, Mimi pergi bergandengan tangan dengan sang kekasih abadi pujaan hatinya Ranu, melenggang pelan bersama mobil yang membawa mereka menuju Kota Bertuah.

Selama setahun, kami masih rutin berkirim kabar. Hingga tahun kelima, di mana aku masih sendiri dan masih menetap tinggal di Dumai, sedang Mimi entah kemana, hilang tak ketahuan rimbanya, setelah surat terakhir mengabarkan bahwa dia melahirkan anak keduanya, kemudian setelah itu kami tidak mendengar kabarnya lagi.

Sampai di suatu siang yang terik, di hari Sabtu, kebetulan saya berada di rumah tiba-tiba saya dikejutkan oleh suara ketukan pintu kamar. Temanku mengatakan ada tamu dari Pekanbaru. Siapa gerangan? Pikirku ketika itu.
Sejenak aku tertegun ketika melihat sosok perempuan di depan pintu, lupa-lupa ingat, hingga suara perempuan itu mengejutkanku,”Faris….Faris kan!” katanya.

Sejenak, dia ragu-ragu, hingga kemudian berlari merangkulaku, sambil terisak keras di bahuku. Saat itu aku hanya bisa diam tertegun dan tak tahu hendak melakukan apa, meskipun aku tahu dia bukan muhrimku.
Kemudian aku menjauhkannya dari bahuku sambil masih ragu, bergumam pelan, “Mimi…Mimikah?”
Masyaallah…Mimi terlihat lebih tua dari usianya, namun kecantikan alaminya masih terlihat jelas. Badannya kurus dengan jilbab lusuh yang berwarna buram, membawa tas koper berukuran besar yang sudah robek di beberapa bagian.
Semula Mimi terdiam seribu bahasa pada saat aku tanya keadaan Ranu, matanya berkaca-kaca, aku menghela nafas dalam, menunggu jawabannya.

“Mas Ranu, Ris….Mas Ranu sudah berpulang kepada-Nya lima bulan yang lalu.”
Kata-kata Mimi membuatku tercekat beberapa saat, namun sebelum aku sempat menimpali, bertubi-tubi Mimi menangis sambil bercerita, “Mas Ranu kena kanker paru-paru, karena kebiasaannya merokok tiga tahun yang lalu, semua sisa peninggalan orang tuaku sudah habis terjual ludes, untuk biaya berobat, sedang penyakitnya bertambah parah. Keluarga mas Ranu enggan membantu, kamu tahu sendiri kan, aku menantu yang tidak diinginkan, dan ketika Mas Ranu meninggal, orangtuanya masih saja membenciku, mereka sama sekali tidak mau membantu,” katanya.

Dia bercerita, dia bekerja serabutan di Pekanbaru, mulai jadi tukang cuci, pembantu rumah tangga, dan sebagainya, hingga suaminya meninggal. “Keluarganya, hanya memberiku uang sekadarnya untuk penguburan Mas Ranu, hingga aku terpaksa menjual rumah tempat tinggal kami satu-satunya, dan dari sana aku membayar semua tagihan rumah dan hutang-hutang pada tetangga, sisanya aku gunakan untuk berangkat ke Dumai, aku tidak sanggup mengadu nasib di sana Ris,” kata-kata Mimi berhenti di sini, disambut isak tangisnya. Sedang aku yang sedari tadi mendengarkan tak kuasa juga menahan haru yang sudah sedari tadi menyesak di dada.
Mimi tertegun… dia memandangku nanar. kemudian dia mengulurkan tangan, memberikan seuntai kalung emas besar, sisa hartanya.
“Ini untukmu Ris.., aku gadaikan padamu, pinjami aku uang untuk modal usaha, dan kontrak rumah kecil-kecilan, aku tidak mau merepotkanmu lebih dari ini Ris.”

Pelan-pelan aku meraih kalung itu dari meja, menimbang-nimbang, pikiranku melayang menuju sisa uang di amplop, dalam tas. Jumat kemarin aku baru mendapat gaji. Sebagai pegawai di suatu instansi, gajiku sangatlah kecil jika dibandingkan dengan pegawai yang lain tentunya, tapi itulah sisa uangku. Aku mengeluarkan amplop tersebut dari dalam tas, di kamar, semua kuinfaqkan untuk Mimi, semata mata karena ikhlas.

Mimi menatap amplop di tanganku, sejurus kemudian aku meletakkan amplop tersebut di atas meja sambil berkata, “Ini sisa uangku Mimi, kamu ambil, nanti sisanya biar aku pikirkan caranya, kamu butuh modal banyak untuk mulai usaha.”
Singkat cerita, Mimi bisa mulai usahanya dari modal itu, mengontrak rumah kecil di dekat rumah saya.

Alhamdulillah, sekarang di tahun kedua, usahanya sudah menampakkan hasil. Mimi sudah sedemikian mandiri, banyak yang bisa aku contoh dari pribadinya yang kuat yaitu Mimi adalah pejuang sejati, ulet, sabar, dan kreatif.
Mimi tetanggaku kini dan setiap pagi selalu menyapa riang aku, wajah cantiknya kembali bersinar.Dia juga tekun mendengar keluh kesahku pada setiap permasalahan yang aku hadapi setiap harinya, termasuk ketika aku mulai mengeluh tidak betah di kantor sebagai pegawai sekian tahun, atau ketika aku menghadapi badai kemelut usia yang sudah berkepala tiga belum juga menemukan jodoh.
“Faris, Allah tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan seseorang atau Allah lebih tahu apa yang terbaik bagimu, sedangkan kamu tidak.”

Lalu Mimi mengajak aku melihat kepulasan tidur anak-anaknya di ruang tamu yang ia jadikan ruang tidur, sedangkan kamar tidur ia jadikan dapur untuk memasak (sungguh rumah yang mungil). Mereka berjejal pada tempat tidur susun yang reyot, kemudian katanya, “Lihatlah Ris, betapa berat menjalani hidup seorang diri, tanpa bantuan bahu yang lain, kalau tidak terpaksa karena nasib, enggan aku menjalaninya Ris. Sedang kamu, bersyukurlah kamu, masih memiliki masa depan yang panjang.“

Aku pun berhenti dari pekerjaan yang lama, sekarang aku bekerja lebih mapan dari yang dulu. Karena setiap pulang kerja aku melintas di depan rumah Mimi, dan terus memperhatikan ketegarannya, akhirnya Allah menumbuhkan kembali cinta di hatiku. Sampai suatu saat aku pun melamarnya agar hubungan kami dihalalkan oleh syari’at. Mimi hanya bisa menunduk malu dan tersenyum melihat anak-anaknya yang akan memiliki ayah yang baru. Allahu Akbar….

Rabu, 08 Desember 2010

Kisah Sedih Si Gadis Miskin



Sudah menjadi kehendak Allah memberinya cobaan berupa penyakit kronis yang bersarang dan sudah bertahun-tahun ia rasakan. Ini adalah cerita kisah seorang gadis yang bernama Muha. Kisah ini diriwayatkan oleh zaman, diiringi dengan tangisan burung dan ratapan ranting pepohonan.

Muha adalah seorang gadis remaja yang cantik. Sebagaimana yang telah kami katakan, sejak kecil ia sudah mengidap penyakit yang kronis. Sejak usia kanak-kanak ia ingin bergembira, bermain, bercanda dan bersiul seperti burung sebagaimana anak-anak yang seusianya. Bukankah ia juga berhak merasakannya?

Sejak penyakit itu menyerangnya, ia tidak dapat menjalankan kehidupan dengan normal seperti orang lain, walaupun ia tetap berada dalam pengawasan dokter dan bergantung dengan obat.

Muha tumbuh besar seiring dengan penyakit yang dideritanya. Ia menjadi seorang remaja yang cantik dan mempunyai akhlak mulia serta taat beragama. Meski dalam kondisi sakit namun ia tetap berusaha untuk mendapatkan ilmu dan pelajaran dari mata air ilmu yang tak pernah habis. Walau terkadang bahkan sering penyakit kronisnya kambuh yang memaksanya berbaring di tempat tidur selama berhari-hari.

Selang beberapa waktu atas kehendak Allah seorang pemuda tampan datang meminang, walaupun ia sudah mendengar mengenai penyakitnya yang kronis itu. Namun semua itu sedikit pun tidak mengurangi kecantikan, agama dan akhlaknya…kecuali kesehatan, meskipun kesehatan adalah satu hal yang sangat penting. Tetapi mengapa?

Bukankah ia juga berhak untuk menikah dan melahirkan anak-anak yang akan mengisi dan menyemarakkan kehidupannya sebagaimana layaknya wanita lain?

Demikianlah hari berganti hari bulan berganti bulan si pemuda memberikan bantuan materi agar si gadis meneruskan pengobatannya di salah satu rumah sakit terbaik di dunia. Terlebih lagi dorongan moril yang selalu ia berikan.

Hari berganti dengan cepat, tibalah saatnya persiapan pesta pernikahan dan untuk mengarungi bahtera rumah tangga.

Beberapa hari sebelum pesta pernikahan, calonnya pergi untuk menanyakan pengerjaan gaun pengantin yang masih berada di tempat si penjahit. Gaun tersebut masih tergantung di depan toko penjahit. Gaun tersebut mengandung makna kecantikan dan kelembutan. Tiada seorang pun yang tahu bagaimana perasaan Muha bila melihat gaun tersebut.

Pastilah hatinya berkepak bagaikan burung yang mengepakkan sayap putihnya mendekap langit dan memeluk ufuk nan luas. Ia pasti sangat bahagia bukan karena gaun itu, tetapi karena beberapa hari lagi ia akan memasuki hari yang terindah di dalam kehidupannya. Ia akan merasa ada ketenangan jiwa, kehidupan mulai tertawa untuknya dan ia melihat adanya kecerahan dalam kehidupan.

Bila gaun yang indah itu dipakai Muha, pasti akan membuat penampilannya laksana putri salju yang cantik jelita. Kecantikannya yang alami menjadikan diri semakin elok, anggun dan menawan.

Walau gaun tersebut terlihat indah, namun masih di perlukan sedikit perbaikan. Oleh karena itu gaun itu masih ditinggal di tempat si penjahit. Sang calon berniat akan mengambilnya besok. Si penjahit meminta keringanan dan berjanji akan menyelesaikannya tiga hari lagi. Tiga hari berlalu begitu cepat dan tibalah saatnya hari pernikahan, hari yang di nanti-nanti. Hari itu Muha bangun lebih cepat dan sebenarnya malam itu ia tidak tidur. Kegembiraan membuat matanya tak terpejam. Yaitu saat malam pengantin bersama seorang pemuda yang terbaik akhlaknya.

Si pemuda menelepon calon pengantinnya, Muha memberitahukan bahwa setengah jam lagi ia akan pergi ke tempat penjahit untuk mengambil gaun tersebut agar ia dapat mencobanya dan lebih meyakinkan bahwa gaun itu pantas untuknya. Pemuda itu pergi ke tempat penjahit dan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi terdorong perasaan bahagia dan gembira akan acara tersebut yang merupakan peristiwa terpenting dan paling berharga bagi dirinya, demikian juga halnya bagi diri Muha.

Karena meluncur dengan kecepatan tinggi, mobil tersebut keluar dari badan jalan dan terbalik berkali-kali. Setelah itu mobil ambulans datang dan melarikannya ke rumah sakit. Namun kehendak Allah berada di atas segalanya, beberapa saat kemudian si pemuda pun meninggal dunia. Sementara telepon si penjahit berdering menanyakan tentang pemuda itu. Si penjahit mengabarkan bahwa sampai sekarang ia belum juga sampai ke rumah padahal sudah sangat terlambat.

Akhirnyai penjahit itu tiba di rumah calon pengantin wanita. Sekali pun begitu, pihak keluarga tidak mempermasalahkan sebab keterlambatannya membawa gaun itu. Mereka malah memintanya agar memberitahu si pemuda bahwa sakit Muha tiba-tiba kambuh dan sekarang sedang dilarikan ke rumah sakit. Kali ini sakitnya tidak memberi Muha banyak kesempatan. Tadinya sakit tersebut seakan masih berbelas kasih kepadanya, tidak ingin Muha merasa sakit. Sekarang rasa sakit itu benar-benar membuat derita dan kesengsaraan yang melebihi penderitaan yang ia rasakan sepanjang hidupnya yang pendek.

Beberapa menit kemudian datang berita kematian si pemuda di rumah sakit dan setelah itu datang pula berita meninggalnya sang calon pengantinnya, Muha.

Demikian kesedihan yang menimpa dua remaja, bunga-bunga telah layu dan mati, burung-burung berkicau sedih dan duka terhadap mereka. Malam yang diangan-angankan akan menjadi paling indah dan berkesan itu, berubah menjadi malam kesedihan dan ratapan, malam pupusnya kegembiraan.

Kini gaun pengantin itu masih tergantung di depan toko penjahit. Tiada yang memakai dan selamanya tidak akan ada yang memakainya. Seakan gaun itu bercerita tentang kisah sedih Muha. Setiap yang melihatnya pasti akan bertanya-tanya, siapa pemiliknya.?

Minggu, 05 Desember 2010

"Pengorbanan Seorang Ibu"



Cerita tentang Cinta Sejati...  Its a nice story..


Seorang ibu yang baru melahirkan penuh kebahagiaan
bertanya kepada dokter,
" Bisa saya melihat bayi saya ?"

Ketika gendongan itu berpindah ke tangannya dan
ia membuka selimut yang membungkus wajah bayi lelaki
yang mungil itu, ibu itu menahan nafasnya.
Dokter yang menungguinya segera berbalik memandang
ke arah luar jendela rumah sakit.
Bayi itu dilahirkan tanpa kedua belah telinga!

Waktu membuktikan bahwa pendengaran bayi yang kini telah tumbuh menjadi
seorang anak itu bekerja dengan sempurna.
Hanya penampilannya saja yang tampak aneh dan buruk.
Suatu hari anak lelaki itu bergegas pulang ke rumah dan membenamkan wajahnya
di pelukan sang ibu yang menangis.
Ia tahu hidup anak lelakinya penuh dengan kekecewaan dan tragedi.

Anak lelaki itu terisak-isak berkata,
" Ma, seorang anak laki-laki besar mengejek saya.
Katanya, saya ini makhluk aneh."

Anak lelaki itu tumbuh dewasa.
Ia cukup tampan dengan cacatnya.
Ia pun disukai teman-teman sekolahnya.
Ia juga mengembangkan bakatnya di bidang musik dan menulis.
Ia ingin sekali menjadi ketua kelas.

Ibunya mengingatkan,
" Bukankah nantinya kamu akan bergaul dengan remaja-remaja lain ?"

Namun dalam hati ibu merasa kasihan dengannya.
Suatu hari ayah anak lelaki itu bertemu dengan seorang dokter yang bisa
mencangkokkan telinga untuknya.

Dokter itu berkata,
" Saya percaya saya bisa memindahkan sepasang telinga untuknya.
Tetapi harus ada seseorang yang bersedia mendonorkan telinganya."

Kemudian, orangtua anak lelaki itu mulai mencari siapa yang mau mengorbankan
telinga dan mendonorkannya pada mereka.
Beberapa bulan sudah berlalu.
Dan tibalah saatnya mereka memanggil anak lelakinya.

Sang ayah berkata,
" Nak, seseorang yang tak ingin dikenal telah bersedia mendonorkan
telinganya padamu.
Kami harus segera mengirimmu ke rumah sakit untuk dilakukan operasi.
Namun, semua ini sangatlah rahasia."

Operasi berjalan dengan sukses.
Seorang lelaki baru pun lahirlah.
Bakat musiknya yang hebat itu berubah menjadi kejeniusan.

Ia pun menerima banyak penghargaan dari sekolahnya.
Beberapa waktu kemudian ia pun menikah dan bekerja sebagai seorang diplomat.

Ia menemui ayahnya,
" Pa, saya harus mengetahui siapa yang telah bersedia mengorbankan ini semua
pada saya.
Oranf itu telah berbuat sesuatu yang besar namun saya sama sekali belum
membalas kebaikannya."

Ayahnya menjawab,
" Papa yakin kamu takkan bisa membalas kebaikan hati orang yang telah
memberikan telinga itu."

Setelah terdiam sesaat ayahnya melanjutkan,
" Sesuai dengan perjanjian, belum saatnya bagi kamu untuk mengetahui semua
rahasia ini."

Tahun berganti tahun.
Kedua orangtua itu tetap menyimpan rahasia.
Hingga suatu hari tibalah saat yang menyedihkan bagi keluarga itu.

Di hari itu ayah dan anak lelaki itu berdiri di tepi peti jenazah ibunya
yang baru saja meninggal.
Dengan perlahan dan lembut, sang ayah membelai rambut jenazah ibu yang
terbujur kaku itu, lalu menyibaknya sehingga tampaklah bahwa sang ibu tidak
memiliki telinga.

Sang ayah berbisik,
" Mama kamu pernah berkata bahwa Mama senang sekali bisa memanjangkan
rambutnya.
Dan tak seorang pun menyadari bahwa Mama telah kehilangan sedikit
kecantikannya bukan ?"

Kecantikan yang sejati tidak terletak pada penampilan tubuh namun di dalam batin.
Harta karun yang hakiki tidak terletak pada apa yang bisa terlihat,
namun
pada apa yang tidak dapat terlihat.
Cinta yang sejati tidak terletak pada perbuatan kasih yang telah dikerjakan
dan diketahui, namun pada perbuatan kasih yang telah dikerjakan
namun tidak
diketahui....